Di lingkungan kita akhir-akhir ini sering kita dengar tentang Energi Baru Terbarukan, dimana PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mini hidro/Mikrohidro) merupakan salah satunya. Selanjutnya kebutuhan energi listrik masih besar di Republik Indonesia saat ini terutama saat beban puncak. Potensi hydropower di Indonesia 75.620 MW sedangkan yang sudah dibangun baru 3530 MW (tahun 2006) atau hanya 4,7%. Sehingga peluang masih membentang meski kompetitor di bisnis ini sudah bermunculan baik swasta, BUMN maupun perusahaan internasional.
PLTM singkatan dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau Minihidro yang secara prinsip bekerja dengan tenaga air sama seperti PLTA. Beda dantara PLTA dengan PLTM adalah pada kapasitas pembangkit. Secara sederhana, pembangkit dengan kapasitas kurang dari 1 MW biasa disebut mikrohidro, antara 1 MW s/d 10 MW mini hidro sedangkan di atas 10 MW disebut PLTA.
Induk Perusahaan PT Jasa Tirta Energi yakni Perum Jasa Tirta I sebetulnya sejak lama sudah ada PLTM yaitu PLTM Bening (0,65 MW) dan PLTM Wonorejo (0,236 MW), namun pemakaian untuk kepentingan operasi bendungan saja. Pada tahun 2018, PLTM Lodagung dengan kapasitas 1,3 MW selesai dibangun dan beropeasi komersial.
Bagaimana masukan dibutuhkan untuk pembangunan PLTM?
Pertama adalah ketersediaan debit air. Hal ini penting karena ini yang menjadi sumber tenaga/daya. Sesuai rumus dasar :
P = h total x Q x g x H atau P = Q x H x 7,8
Dimana P = daya (KW), Q= debit (m3/dt), g = gravitasi (9,8 m2/dt) dan H = tinggi jatuh netto (m) , h total= efisiensi total (h turbin x h generator x h percepatan x h trafo)
Tidak mudah menemukan sungai yang memiliki debit konstan untuk pembangkitan. Sehingga lazim dibuat waduk pengatur (regulated weir) sebagai perata aliran, meskipun dengan ukuran tidak sebesar waduk tahunan. Secara prinsip PLTM akan lebih menguntungkan apabila dibangun di run-off river, tanpa bangun terlebih dahulu weir, bendung apalagi waduk.
Ketinggian jatuh atau head sebelum energi air memutar turbin menjadi faktor penting karena semakin tinggi head akan semakin besar pula energi dibangkitkan.
Selanjutnya perlu diteliti pula morfologi ataupun geologi dari calon lokasi PLTM. Apakah aman dari gempa, tanah longsor, rekahan, debris ataupun yang sering dihadapi: sedimen. Akan tidak nyaman apabila dalam waktu singkat PLTM yang baru dibangun mengalami stop operasi atau plugging akibat sedimen. Hal ini akan menaikkan biaya OPnya sementara investasi masih jauh dari impas. Lay-out dasar yang paling ekonomis yaitu posisi terdekat PLTM, pipa pesat terhadap sungai juga menjadi pertimbangan pemilihan lokasi.
Hal-hal tersebut di atas tentunya saat ini bisa lebih mudah dan relatif murah dengan menggunakan teknologi remote sensing, dimana data satelit saat ini bertebaran dan mudah diakses, asal bisa mengintrepretasikan dan mendayagunakannya.
Ketersediaan grid atau jaringan transmisi listrik di lokasi calon PLTM tersebut juga harus diperhitungkan. Semakin jauh grid, biaya pembangunan menjadi lebih mahal.
Lingkungan tempat dibangunnya PLTM juga perlu ditinjau. Jangan-jangan merupakan kawasan hutan lindung dengan syarat mutlak harus ada Amdal yang biasanya “ribet” pengurusannya. Apabila bukan kawasan lindung, hanya perlu Rencana Pengelolaan Lingkungan yang disahkan instansi berwenang. Ini tidak sulit karena PLTM sebetulnya adalah “ramah lingkungan”, hanya saat pembangunannya saja yang perlu perhatian terhadap lingkungan.
Jenis turbin dan generator juga menentukan kelayakan ekonomi dari PLTM yang kita bangun. Apalagi dengan beragamnya teknologi saat ini yang ditawarkan dengan harga bervariasi, namun dengan kualitas yang beragam pula.
Ditulis bebas oleh :
Ulie M Dewanto (Direktur PT Jasa Tirta Energi)